Kamis, 18 Februari 2010

My first noctah

YANG TERLUPAKAN
Aku tak menyangka ! dibalik gubuk tua yang disebut sarang setan itu tersembunyi sesuatu yang menyedihkan. Ternyata, dibalik gubuk tua itu terduduk seorang pria malang yang dipasung kakinya. Wajahnya kumal, pakaiannya lusuh, badannya kotor, kurus kering kerontang. Sungguh sebuah anomaly yang seharusnya tak pernah terjadi dizaman ini. Aku tak sanggup melihat pemandangan ini.
Sebenarnya aku tak diizinkan masuk ke gubuk ini, tapi aku terlanjur melihatnya. Pria malang itu memegang dua buah kain sarung, matanya jernih layaknya anak kecil tak berdosa. Aku tahu semuanya, aku tahu pria malang ini adalah orang yang memiliki keterbelakangan mental. Ia diasingkan keluarganya karena dianggap sebagai aib. Sungguh kejam !
Tidakkah mereka tahu bahwa keluarga itu berharga, bahkan lebih berharga dari harta. Keluarga adalah manusia-manusia satu keturunan yang terhubung oleh ikatan cinta dan kasih sayang. Tahukah mereka? Ingin rasanya aku membuka pasungan dikaki pria malang yang usianya tidak terlalu jauh diatasku itu. Tapi aku tak bisa !
Orang-orang jahat yang menyiksanya adalah orang yang taat pada agama. Akan tetapi bagiku, mereka tak lebih dari orang ateis. Perlu kalian ketahui bahwa cerita-cerita seram tentang gubuk tua itu hanya rekaan mereka semata. Tujuannya agar tak banyak orang yang tahu tentang pria malang itu. Ingin rasanya aku mengutuk orang-orang jahat itu menjadi batu sperti cerita Malin Kundang. Tapi sungguh… aku tak kuasa melakukannya. Yang bisa kulakukan hanyalah secara sembunyi-sembunyi memberi makan pada pria malang itu. Aku akan langsung meleleh melihat tatapannya. Aku merasa tersayat, meskipun bukan aku yang dipasung. Hatiku sedih dan geram sekaligus.
Aku berharap mereka tak pernah tau aku sering memberikan makanan padanya. Mereka takan senang bila mengetahui hal itu. Entahlah ! kurasa orang-orang jahat itu memang berniat membunuhnya. Mereka kejam dan tak berperikemanusiaan. Mereka tak mengerti akan hakikat seorang manusia. Namun, aku tak bisa lakukan apapun yang lebih berarti. Aku hanya anak kecil berusia 14 tahun, aku tak berdaya dan dan tak sanggup berbuat banyak.
Aku…., aku saksi pengasingan dan penyiksaan orang cacat selama bertahun-tahun. Semilir angin barat yang dingin menusuk kalbu, meniup mesra mataku hingga berair. Pria malang itu kini telah meninggal. Tuhan tak berkehendak ia menderita terlalu larut. Bulan Desember ysng sendu menguburnya bersama jutaan sesal yang terpendam dalam hatiku.
‘Tuhan… maafkanlah aku yang tak bisa menolong kakak sepupuku sendiri”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar