Senin, 22 Februari 2010

Noctah kedua (kisah kiasan)

TERTAMPAR KENYATAAN

Aku sedih dan gelisah. Keduanya berkecamuk hebat dalam dadaku, aku merasa hilang. Semuanya tampak buruk, bahkan bantal pun memusuhiku. Aku, hanya aku sendiri. Sepi dan membosankan. Kupandangi kaca, wajah itu murung, matanya terasa berat untuk dibuka. Itu aku ! Tiba-tiba saja seluruh ingatan itu menyergapku, aku terjebak didalamnya. Aku melihat sepupuku yang dipasung, dia menjerit-jerit. Setiap sore aku memberinya makanan. Diruang gelap nan sempit dan kumuh itu ia ditempatkan. Lalu tiba-tiba, aku melihat teman sekelasku. Ia telah berada dikelas ini sejak tahun lalu. Matanya yang bulat menunjukkan hati yang masih lugu, menentang keegoisan waktu. Waktu yang membuat tubuhnya bertumbuh namun jiwanya tetap anak-anak.
Kemudian aku dihantam bayangan lain. Pamanku ! rambut dan janggutnya memutih, serta tubuhnya kurus tak berdaging. Ia berbaring, tergeletak disana, dilantai dingin itu ia berserakan bersama seluruh kitab-kitab yang dipelajarinya. 27 tahun umurnya dihabiskan untuk mengeruk ilmu hingga sebelah matanya buta. Ia takan bicara bila tak penting. Dia mengerang, bahu sebelah kanannya naik. Sebelah paru-parunya telah rusak dan berlubang. Namun ia tetap berkeras untuk terus belajar, meski bernafaspun sulit untuk dilakukannya.
Aku terdiam dalam ingatanku. Aku meleleh membayangkan mereka bertiga. Aku tersentak, tenggorokanku kering, aku tak dapat merasakan mataku. Hening…gelap.. hanya aku sendiri.
Aku merasakan getaran itu, getaran yang begitu kuat. Aku seolah pernah mengenalnya. Perlahan aku kembali merasakan mataku. Aura itu, bau khas itu, aku memang mengenalnya. Namun apa ? aku tak bisa mengingatnya. Aku kaku, kupandangi kiri kanan. Kucari sumbernya, aura itu terasa semakin berat dan dekat. Aku waspada. Dalam gelap dan dingin aku mencoba meraba cahaya. Aura itu betambah kuat berkali lipat. Aku panik dan takut. Aku menyembunyikan tubuhku dipojok dinding. Namun aura itu mendesakku. Aku maju beberapa langkah ketengan ruangan. Tiba-tiba otakku seperti diketuk oleh sebongkah batu. Akhirnya pecah dan terbuka. Aku ingat. Itu adalah getaran ilmu, aura itu adalah aura pemikir dan bau khas itu adalah bau dari keringat para pemikir yang dahaga akan pengetahuan.
Aku tersadar, meski mataku redup aku bisa melihat beberapa orang bejubah mengelilingiku. Mereka membentuk lingkaran, aku sebagai sumbunya. Sunyi….. mereka hanya memandangiku. Aku terpaku. Jubah mereka,janggut dan rambut putih mereka, sorban putih yang membelit kepala mereka, serta beribu buku yang terhampar dibelakang mereka. Aku takjub !
Gemetar, aku merasa buih-buih halus mulai berjatuhan dikedua pipiku. Aku tahu siapa mereka. Dua belas orang tua ini, aku tahu. Aku kenal mereka dengan baik lewat labirin-labirin buku. Ingin sekali aku menyapa mereka, namun tenggorokanku gersang layaknya sahara disiang hari.
Mereka, kedua belas orang tua ini adalah pelita dunia. Mereka ialah para cendikiawan Timur yang genius. Aku sungguh mengenal mereka, terutama yang ditengah. Orang tua ini, yang sedang berhadapan langsung denganku adalah Ibnu Sina (Avicenna), pemimpin para Syekh dan dokter ternama selama tiga abad. Dialah penanam sekaligus pembaharu berbagai faham dalam dunia medis yang sekarang diterapkan di Eropa. Avicenna adalah orang kedua yang aku kagumi. Semua bayangan maya ini terasa nyata bagi orang yang sedang bingung. Tergantung antara langit dan bumi.
Tubuhku ada disini,
tapi hatiku jauh disana.
Didasar tempat tidur.
Ditempat yang tak bisa dijangkau
Siapapun
Mataku melihat, tapi
hatiku memalingkan wajahnya.
Al-Idris, ia melantunkan
Sebuah syair
Menyayat ..
Merobek
Mengiris
Hati yang terluka mendengarnya.
Terukir disana.
Diatas sesuatu yang tak tesentuh nampan cahaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar